Manager terbaik era Premier League itu akhirnya memustuskan untuk mengakhiri kejayaan yang telah puluhan tahun ia bangun.
Setelah 26 tahun, seseorang yang lahir dengan nama Alexander Chapman Ferguson itu akhirnya memutuskan untuk mengakhiri masa kepelatihannya di klub yang ia bawa menjadi salah satu klub paling sukses di dunia. Keputusan yang dengan segera menjadi pemberitaan media di seluruh dunia. Bagaimana tidak, yang terbesar di era Premier League akhirnya memutuskan untuk mengakhiri masa kejayaannya. Tak usahlah kita semua memungkiri. Tim manapun yang kita dukung, kita tetap harus mengakui bahwa Fergie adalah yang terbaik di era Premier League. Penambahan gelar “Sir” di depan namanya adalah penghargaan nyata dari pemerintah Inggris walaupun ia sejatinya berkebangsaan Skotlandia.
Kebesaran ini mungkin tak kita semua akui di awal karirnya bersama United. Olehnya, pasukan merah dari pinggiran kota Manchester ini hanya dibawa menduduki posisi ke-11. Sesuatu yang sebenarnya hebat karena United berada di posisi ke-21 (posisi kedua dari dasar klasemen) kala ia datang pada 6 November 1986. Namun lihatlah catatan prestasinya kini.
Walaupun ia membutuhkan waktu yang relatif lama untuk berhasil mempersembahkan gelar liga pertamanya bagi United, secara keseluruhan tiga puluh delapan piala sudah ia sumbangkan selama ia berkiprah di sana. Tigabelas gelar juara Liga Inggris, lima gelar juara Piala FA, empat Piala Liga, 10 Charity/Community Shield, dua Liga Champions, UEFA Cup Winners’ Cup, satu Piala Super Eropa, satu Piala Interkontinental, dan satu gelar juara Piala Dunia Antarklub adalah rincian keberhasilan yang diraih oleh Ferguson bersama United. Belum lagi penghargaan pribadi yang jumlahnya banyak sekali jumlahnya.
Cerita paling besar yang pernah Fergie torehkan di United barangkali adalah treble yang berhasil ia raih di musim 1998-99. Gelar juara Premier League, FA Cup, dan UEFA Champions League berhasil ia menangkan bagi United di musim itu dan namanya seketikan menjadi pahlawan. Terlebih setelah United meraih gelar Liga Champions mereka dengan cara yang sangat dramatis di pertandingan final melawan Bayern Munich. Di musim ini pulalah ia dan timnya mendapat penghargaan dan pengakuan dari dunia sepakbola internasional dengan digelarnya pertandingan persahabatan antara United dengan pemain-pemain terbaik di seluruh dunia di pertandingan yang bertajuk Manchester United vs Rest of the World XI.
Treble bukanlah satu-satunya waktu tinta emas pernah dipakai untuk mencatatrkan prestasi Fergie. Dua kalidouble winners dan keberhasilan membawa United menyalip Liverpool dalam catatan raihan gelar liga terbanyak juga patut dikenang dengan cara yang sangat baik. Semua prestasi itu berhasil ia raih dengan kemampuannya yang sangat baik dalam hal memotivasi pemain. Dengan permainan psikologisnya, para pemain United mampu dan rela untuk mengeluarkan 100% kemampuan yang mereka miliki. Tak ada yang mampu membantah Ferguson ketika ia sudah memerintahkan para pemainnya untuk melakukan sesuatu.
Bagaimanapun, Fergie tetaplah manusia yang tak luput dari segala kekurangan. Perangainya terkenal buruk. Emosinya meledak-ledak dan kerap kali ia menuding pihak lain untuk kegagalan yang ia terima. Bukan hal yang aneh melihat Fergie mengeluarkan komentar pedas terhadap kinerja pengadil di atas lapangan. Kesuksesan juga tak selalu berhasil ia catatkan di United. Di musim 1989/90 United sempat jatuh hingga posisi ke-17 di tabel klasemen. Jika saja performa di Piala FA sama buruknya, Ferguson mungkin sudah dipecat kala itu. Namun karena satu dan lain hal, ia akhirnya tetap bertahan walaupun masa-masa itu ia sebut sebagai “dark period”.
Fergie juga bukan tanpa musuh selama berkarir di United. Keberhasilan timnya membuat United dibenci oleh banyak suporter di Inggris, walaupun jika mereka ditanya mengenai perasaan yang mereka miliki terhadap Fergie, bukan tak mungkin bahwa mereka akan mengakui perasaan hormat terhadapnya. Selain seringkali bersitegang dengan pengadil, media juga kerap kali menjadi sasarannya. Mengenai sesama pelatih, Fergie juga mendapatkan banyak pesaing.
Semua manager yang berhasil menggagalkan usaha United untuk menjadi juara Premier League secara otomatis menjadi musuh Fergie. Roberto Mancini adalah nama terbaru. Jose Mourinho sempat menjadi yang terbaik selama dua musim berturut-turut. Tapi tetap saja, nama Arsene Wenger menjadi yang teratas dalam urusan ini karena sejak kedatangannya dari Jepang, pelatih asal Perancis tersebut langsung berusaha untuk menggoyang dominasi Fergie dan terang-terangan menentang dirinya. Lain hal, Wenger tak seperti Mou yang tak bertahan lama dan Mancini yang masih baru di Premier League. Sejak 1996, rivalitas Arsenal dan United menjadi panas karena kedua manager pun kerap bersitegang. Namun bagaimapun Fergie tetap unggul dari Wenger dengan persentase kemenangan sebesar 45,83%, buah dari 22 kemenangan, 11 hasil imbang, dan 15 kekalahan. Belum lagi 70 gol yang berhasil ia sarangkan ke gawang pasukan Wenger yang hanya mampu dibalas sebanyak 54 kali oleh pesaingnya itu.
Dan begitulah. Mulai musim depan, tak akan ada lagi persaingan panas yang mungkin akan dirindukan oleh Wenger sendiri. Tak ada lagi Fergie yang menggebu-gebu memberi instruksi kepada para pemain United dari pinggir lapangan, sembari mengunyah permen karet tentu saja. Tak ada lagi protes keras terhadap keputusan wasit. Tak akan ada lagi komentar pedas yang ia layangkan kepada semua pihak dalam konferensi pers. Tak akan ada lagi tambahan piala ke lemari trofi United berkat jasanya.
Fergie sudah memutuskan bahwa ia sudah mencapai titik akhir dari perjalanannya dan kita semua hanya bisa menerima keputusannya sembari, barangkali, mengingat memori indah yang ia torehkan. Semata untuk mengenang cerita manis yang pernah ia tinggalkan, atau demi tak terlupakannya manager terbaik Premier League.
Terima kasih banyak, Sir Alexander Chapman Ferguson. “Football? Bloody Hell!”, eh?
0 komentar:
Posting Komentar